Chenghoo.co – Siang itu suasana cukup terik di sekitar Jalan KH Anwar kawasan Kembang Kuning Surabaya. Terlihat ada lima pintu pilar membentang megah dan membentuk daun semanggi, dimana hal tersebut memiliki arti filosofis kearifan warga lokal. Tak ketinggalan para jamaah yang sedang khusyuk menjalankan ibadah sholat dzuhur di Masjid Rahmat Surabaya ini.
Masjid Rahmat dikenal sebagai masjid tertua di Surabaya. Sebagian besar warga Surabaya mengenal Masjid Ampel sebagai masjid tertua di Surabaya. Namun, dalam sejarahnya masjid Rahmat-lah yang terlebih dahulu berdiri.
Sejarah Berdirinya Masjid
Jauh sebelum merdeka sekitar abad ke 14 tahun 1950an, Masjid Rahmat belum berbentuk megah seperti sekarang. Dulu masjid ini ketika ditemukan hanya beralaskan batu bata yang ditata rapi dengan letak lebih tinggi dari sekitarnya, dan pada tiap sudutnya terdapat empat buah tiang untuk menyangga sebuah atap yang terbuat dari bambu serta tangkai jerami seperti layaknya gubuk surai tiban. Maka dari itu dulu masjid ini di namakan masjid Tiban.
Lalu, sekitar tahun 1967 masjid Tiban ini direnovasi berkat bantuan dana dari APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) ketika menteri Agama datang di Masjid Rahmat. Dengan direnovasinya masjid ini, besar harapan agar bisa menampung lebih banyak lagi jemaah yang ingin belajar agama Islam ataupun beribadah.
“Dulu Masjid Rahmat gak sebesar sekarang, dulu atasnya itu masih bambu dan jerami, ya sangat sederhana sekali pokoknya, gak sebagus sekarang ini. Lalu tahun 1967 ada renovasi berkat bantuan dana APBN pas Menteri Agama datang,” kenang Kyai Haji Abdul Muchid Murtadho selaku Ketua Umum pengurus Masjid Rahmat Surabaya.
Lantas KH Muchid lanjut bercerita mengenai sejarah singkat dan awal mula berdirinya masjid bersejarah ini.
Ketika itu Raden Rahmat Sayyid Ali Rahmatullah atau yang lebih dikenal dengan Sunan Ampel sedang menjalankan misinya untuk menyebarluaskan ajaran agama Islam di Pulau Jawa. Kala itu, beliau baru saja tiba dari kawasan Majapahit dengan perahu kecilnya dan melewati kawasan sungai di depan Masjid Rahmat. Maka singgahlah Raden Rahmat disana.
Konon tradisi zaman dahulu, barang siapa yang ingin bertahan disuatu wilayah tertentu harus pandai-pandai berduel ilmu dengan lawan bicaranya.
Kala itu, Raden Rahmat bertemu dengan tokoh masyarakat sekitar yakni Mbah Wirasoeroyo atau yang lebih dikenal Ki Mbah Kuning yang notabene menganut ajaran agama Hindu. Maka, selama Raden Rahmat singgah disana, pertarungan ilmupun tak terelakkan antara Raden Rahmat dan Mbah Wirasoeroyo. Mereka berdua saling berduel dengan berbekal keunggulan ilmu yang mereka kuasai masing-masing.
Lambat laun pertarungan kedua Tokoh ini telah berakhir, Mbah Wirasoeroyo-pun akhirnya takluk di tangan Raden Rahmat hingga ia mau memeluk agama Islam. Puncaknya, Raden Rahmat dinikahkan oleh putri Mbah Wirasoeroyo, yang bernama Karimah.
Maka Raden Rahmat diijinkanlah untuk berdakwah mengajarkan ajaran agama Islam, dengan metode berdakwah lewat pendekatan yang ramah dan mudah bergaul dengan warga sekitar Kembang Kuning.
Tak ayal, metode pendekatan Raden Rahmat tersebut terbilang cukup ampuh untuk merayu khalayak. Metode tersebut terbukti banyak digemari sebagian besar warga Kembang Kuning yang ingin menganut ajaran agama Islam yang diterapkan oleh putra Maulana Malik Ibrahim ini.
“Dakwahnya Raden Rahmat banyak disukai warga lokal, karena metode yang diterapkan melalui pendekatan secara halus, mudah bergaul dengan sesama. Bahkan sampai saat ini ajaran beliau masih dipakai dan masih kami lestarikan, seperti tahlilan, megengan dan membaca wiritan,” terang KH Abdul Muchid, sapaan akrabnya.
Akhirnya setelah lama tinggal di Kembang Kuning dan di karuniai dua orang putri yang bernama Nyimas Musthosyiah dan Muthosyimah, Raden Rahmat melanjutkan syiarnya ke kawasan Ampel hingga akhirnya mendirikan Masjid di sana.
(Amm/Sur)